Форум

Keindahan Turki yang Menyembuhkan Luka Hati

Keindahan Turki yang Menyembuhkan Luka Hati

by Hasan Basri -
Number of replies: 0

Aku masih ingat pertama kali kaki ini menjejak bumi Turki. Udara dingin menusuk kulit, tapi hatiku hangat oleh rasa syukur. Perjalanan ini bukan sekadar liburan. Sebelumnya aku menjalani ibadah umroh, menyelesaikan serangkaian ibadah di Tanah Suci penuh haru, lalu perjalanan dilanjutkan ke negeri yang dari dulu hanya kulihat lewat foto orang lain: Turki. Negara yang katanya menyimpan peradaban, sejarah, hamparan kota tua, dan modernitas dalam satu panggung luas.

Sebenarnya, aku sempat ragu sebelum memutuskan: apakah pantas setelah umroh, aku lanjut jalan-jalan? Tapi di tengah perjalanan pulang menuju hotel di Makkah, seorang jamaah senior berkata, “Ibadah itu bukan hanya bersujudtapi juga mensyukuri ciptaan Allah melalui apa yang kita lihat. Alam pun bagian dari ibadah.” Kalimat itu menancap. Hingga akhirnya aku memilih mengikuti rombongan tur ke Turki yang sudah termasuk dalam paket perjalanan.


Ketika pesawat mendarat di Istanbul, jendela kabin memperlihatkan kota megah dengan garis pantai bosphorus yang seakan memeluk daratan. Langit Istanbul pagi itu berwarna biru pucat, dan burung-burung camar terbang rendah. Begitu keluar bandara, aku seperti memasuki buku sejarah yang terbuka lebar.

Tujuan pertama: Masjid Biru. Dari jauh, kubah-kubahnya menjulang megahseolah menyapa siapa pun yang datang mendekat. Di dalam masjid, ornamen kaligrafi dan 20.000 keramik iznik berwarna biru lembut membuat suasana tenang, seakan membisikkan kedamaian. Aku terdiam lama di salah satu sudut, dan entah kenapa, tiba-tiba ingatan tentang thawaf, sa’i, dan doa-doa yang kupanjatkan di depan Ka’bah menyeruak kembali. Air mataku mengalir begitu saja, tanpa alasan pasti… mungkin karena syukur.

Perjalanan berlanjut ke Hagia Sophia, bangunan yang pernah menjadi gereja, kemudian masjid, lalu museum, dan kini kembali menjadi masjid. Struktur itu menyimpan rentetan sejarah peradaban yang luar biasa. Saat berdiri di tengah ruang utama, menatap kubah emas yang melengkung sempurna, aku merasa kecil. Betapa rumitnya dunia ini, tetapi betapa hebatnya manusia yang mampu menciptakan karya sebesar itu.

Malamnya, rombongan menikmati suasana Grand Bazaar. Bau rempah-rempah, lampu-lampu warna-warni, tawa orang-orang yang menawar barang… semuanya begitu hidup. Aku membeli secangkir teh apel di kios kecil. Sang penjual berkata dengan logat khasnya, “Welcome, my friend. Turkey is your second home!” Dan aku tersenyum, merasa diterima.


Hari kedua adalah perjalanan yang membuatku benar-benar jatuh cinta: Cappadocia. Perbukitan unik, lembah-lembah batu, dan formasi bebatuan yang tak biasa seperti lukisan. Saat balon udara mulai terangkat, angin dingin menerpa wajah. Namun, ketika matahari muncul sedikit demi sedikit, cahayanya membuat seluruh Cappadocia berubah menjadi keemasan. Semua orang di balon terdiamtak ada yang ingin merusak keindahan itu dengan suara.

Di puncak udara, aku menatap pemandangan tanpa berkedip. Dan aku sadar: dunia terlalu luas untuk kita habiskan hanya dengan berlari mengejar kesenangan materi. Ada pengalaman yang jauh lebih berharga: melihat keindahan ciptaan Tuhan secara langsung.

Selama perjalanan, aku juga menyadari bahwa Turki bukan hanya tentang destinasi wisata. Turki adalah ruang perenungan. Negara ini mengajarkan banyak hal lewat setiap jengkal sejarahnya: bahwa kejayaan datang dan pergi, tapi iman dan kebaikan tetap abadi.

Bahkan rombongan kami beberapa kali membahas perjalanan umroh yang baru saja kami jalani. Seolah ibadah dan wisata ini bukan dua hal yang bertolak belakang… melainkan saling melengkapi. Ada yang bilang, “Hidayah datang ketika kita sujud, tapi kedewasaan datang ketika kita melihat dunia.” Aku tidak tahu apakah itu benar, tapi aku merasakannya.

Di hari terakhir, sebelum kembali ke tanah air, kami berhenti di sebuah titik pinggir laut Bosphorus. Angin dingin mengibaskan rambutku, dan kapal-kapal putih bergerak perlahan menyeberang dari Eropa ke Asia.

Pemandangan sederhana itu justru paling membekas.

Karena untuk pertama kalinya, aku berkata dalam hati:
Aku ingin kembali mengunjungi tempat ini.
Bukan hanya karena indah… tapi karena Turki mengubah cara pandangku tentang hidup.

Aku datang sebagai seseorang yang ingin sekadar berwisata setelah umroh. Tapi aku pulang sebagai seseorang yang merasa berbeda. Lebih tenang. Lebih dekat dengan diri sendiri. Lebih menghargai apa yang kupunya.

Dan mungkin, suatu hari nanti… aku akan datang lagi. Menyentuh udara Istanbul, balon udara Cappadocia, hamparan laut Bosphorus, dan destinasi-destinasi lain yang selalu membuat keindahan turki terasa seperti rumah bagi hatimeski jauh dari rumah sebenarnya.